06 Juli 2019

Gagal Maning, Man

Musuh bebuyutanku sudah terkapar dengan luka-luka menganga di tengah pertempuran, tinggal satu-dua tarikan nafas lalu jiwanya akan melayang ke Langit, kembali ke Negeri Asal-muasal.
Keris pusaka sudah tinggal sejengkal untuk aku hunjamkan ke dadanya, dada kesatria anak Arjuna, yaitu Abimanyu......
Ya...., Abimanyu, yang beberapa kali telah membuat aku menjadi pecundang hina.
Aku, Lesmanamandrakumara namaku, putera mahkota pewaris tahta kerajaan Hastinapura, anak satu-satunya dari Prabu Duryudana, , putera yang telah disepakati oleh paman-pamanku semuanya, seluruh pembesar kerajaan, oleh para Raja seantero sewu negara, untuk nantinya menggantikan ayahandaku sebagai Raja-diraja penguasa delapan penjuru mata-angin. Kemuliaan yang sungguh sudah tampak di depan mata.
Memang, sejarah pernah mencatat beberapa kali aku telah telah dipermalukan oleh wangsa Amarta, oleh Pandawa dan anak-anaknya, meskipun aku didukung oleh Paman Mahapatih Sengkuni dan bahkan oleh Eyang Maharsi Durna guru dan penasehat utama kerajaan yang juga adalah mahaguru para Pandawa.
Aku kalah oleh Abimanyu ketika memperebutkan Wahyu Cakraningrat, wahyu yang akan mengukuhkan pemiliknya sebagai calon Raja-diraja penguasa Jagad, yang tercabut kembali karena kelengahanku lantaran berpesta-pora merayakannya. Dan akhhirnya wahyu itu mencari tempat, membenam dalam raga sempurna milik Abimanyu.
Tiga kali pula aku gagal mempersunting para puteri kerajaan maupun brahmana pinunjul yang dilamar oleh paman Sengkuni untukku. Gagal mendapatkan Titisari karena dia dan keluarganya lebih memilih Bambang Irawan anak dari paman Arjuna, yang ke dua kalinya kalah pula oleh Gatutkaca ketika memperebutkan Endang Pergiwa. Dan 
untuk ke tiga kalinya lebih menyakitkan lagi ketika  aku gagal mendapatkan Dewi Siti Sendari yang akhirnya dinikahi oleh Abimanyu. Hmmm.... Abimanyu.
Berapa kali lagi aku perlu menangis meraung-raung kepada paman-pamanku, kepada paman Sengkuni, kepada para Raja sahabat ayahku untuk mendapatkan bantuan menuju kemenangan sempurna sebagai calon Maharaja? sementara sebenarnya aku memiliki segalanya:  kekayaan, martabat, ketenaran, kehormatan, tampang yang sedap dipandang, pengaruh serta kekuasaan?
Jangan pernah menilai hanya dari lagakku, karena itu konon sudah menjadi pembawaanku sejak lahir. Dan demikianpun orang-tua serta seluruh keluarga menerima keadaan diriku, tetap menempatkanku di tempat yang mulia sebagai Putera Mahkota. Kalaupun ada kegamanganku dalam menghadapi setiap masalah, kurangnya rasa percaya diri, mudahnya patah semangat, toh dapat dengan mudah ditutup oleh bantuan mereka semua.
...
Dan, inilah saatnya, saat pelampiasan kesumat yang sejak lama telah aku tunggu-tunggu........
Kuhunus keris pusaka, tepat ke depan jantung Abimanyu yang terkapar lunglai, penuh luka menganga tanpa daya. Matanya setengah terpejam.... inilah saatnya, ketika sekejap tiba-tiba aku melihat mata itu berkilat cepat dan sesaat kemudian,
keris Abimanyu sudah terhunjam di dadaku...... Ooooo..... lunglai tubuhku, gelap pandanganku, hanya terasa desir suara darah menghambur....
Selesai sudah semuanya.
Gagal sempurna.

... ..... pojok kampung
... ..... kopinya pahit
Surabaya, 21 Juli 2018

17 Juni 2019

Bukan Rahasia

Ketika aku ditanyai tentang sesuatu urusan sedangkan sebenarnya aku tidak terlalu memahaminya  lalu aku menjawabnya keliru, maka mungkin aku dianggap tolol.
Dan karena aku adalah tolol, maka aku tidak lagi menjadi bagian dari dirinya.
Itulah pangkal dari silang-sengkarut pada saat ini.
Karena ada hal-hal yang 'rahasia', yang hanya dia yang boleh tahu dan orang lain tidak, termasuk aku.
Sudah faham maksudku? Sudah tahu penyebab ketololanku karena aku tidak tahu hal 'rahasia' itu?
Sejak kapan hal yang berkaitan dengan kepentingan banyak orang menjadi sesuatu yang dirahasiakan?
Itu saja.



16 Juni 2019

gurit ampang


o ati
ingkang ngubeng-ngingerake panyawang
mulata marang Hyang Kang Ngasta Samubarang
ngrerepaa, sesambata, nyenyuwuna
supaya wadining urip
tinarbuka dadi lelipur

Kegaduhan Politik

Suasana pasca Pilpres 2019 masih berlanjut dengan kegaduhan politik, entah sampai kapan meskipun tentunya semua berharap untuk segera mereda dan kemudian bersiap untuk kembali fokus kepada aktifitas normal yaitu bekerja pada posisi masing-masing.
Semakin ke sini tampaknya dampak dari pemihakan sulit untuk dikendorkan, karena siapapun dengan sangat mudah menunjukkan pilihannya kepada publik melalui media sosial yang gampang sekali diakses maupun dipublikasikan.
Kalau pada jaman dahulu, berpendapat diekspresikan dengan bicara kepada publik, dengan pidato, menulis  pernyataan atau opini di media cetak, maka dengan internet semua itu sekarang menjadi 'imbuhan' saja. Tinggal tulis atau rekam gambar, unggah dan dalam bilangan detik sudah dapat diakses orang lain.

Tapi biarlah, yang ingin aku tulis di sini bukan tentang isu politik, tetapi tentang ekses polusi yang diakibatkannya terhadap pikiran (mungkin) setiap orang.

Sebel juga sih, membaca opini maupun komentar yang disertai makian dan hujatan. Yang ditulis dengan gaya guyonan, gaya merah-marah, gaya pinter-pinteran, gaya sok-hebat sendiri dan berbagai gaya lainnya. Yang semua tidak memberi nilai tambah untuk memberikan pemahaman yang cukup apalagi mendalam terhadap topik yang dikomentari.
Ada hal-hal yang tidak dibuka dan dikemukakan secara jelas, ada hal yang disembunyikan, ada hal yang dikaburkan, diplesetkan, dibaurkan, dibelokkan. Secara sengaja, secara ikut-ikutan, secara membebek membabi-buta (eh, bebek atau babi ya?).
Akhirnya, ketrampilan menulisnya berhenti hanya pada mampu berkomentar atau terpancing untuk berkomentar.
Originalitas tulisan menjadi sangat dangkal, karena berangkat pada sesuatu yang umum, yang konon, yang katanya. Itu-itu saja. Dan itupun kalau menulisnya benar masih agak lumayan untuk dibaca. Selebihnya, sampah melulu.
Celakanya, tulisan-tulisan itu menyusup dengan sangat mudah dan lancar pada saat kita membuka akses internet, yang melalui handphone bahkan di tengah malam menjelang tidur atau terbangun dari tidurpun langsung terbaca dan masuk dalam pikiran.
Geregetan juga sih. Handphone kita sendiri, pulsa juga dibayar sendiri, baterai di-cas sendiri, tetapi yang datang sampah, menggerojok tanpa permisi.
Salah sendiri juga, sih. Kenapa juga terus dibaca dan ditonton.
Lalu, mau jadi apa kita? Itu kalau bicara tentang nanti dan kelak.
Yang pasti, saat ini kita sedang apa? Merusak diri sendiri? Atau menjadi bagian dan alat dari yang merusak banyak orang? Yang di antaranya adalah keluarga, sanak, karib, sahabat?

15 Januari 2019

...


diamku dalam sunyi
mencari
celah di mana ada kedip cahaya 
dari jauh sana
diamku di kedalaman sunyi
menanti
cahaya mentari pagi


surabaya, 11 agustus 2018